Risalah Singkat Shalat Witir
Penulis: Dr.Hj. Salamah Noorhidayati, M.Ag | Editor: Annisa’ Dwi Arrahma
Pesantren Subulussalam Tulungagung
02 Ramadhan 1444 H
24 Maret 2023 M
A. HUKUM, DALIL KEHUJJAHAN DAN KEUTAMAAN SALAT WITIR
Shalat Witir merupakan salah satu shalat yang bernilai sunnah muakkad, yakni sangat dianjurkan. Keberadaan shalat ini didasarkan pada beberapa hadis, baik yang menyatakan hukum, keutamaan maupun cara pelaksanaanya.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:
وَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungghnya Allah itu witir, mencintai yang witir/ganjil” (HR. Muslim)
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ فَأَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ
“Sesungghnya Allah itu witir, mencintai witir, maka lakukanlah shalat witir wahai ahli Al Qur’an” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah; shahih)
يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Wahai ahli Al Quran, lakukanlah shalat witir. Karena sesungghnya Allah swt itu witir, mencintai yang witir” (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah; shahih)
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ زَادَكُمْ صَلاَةً صَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الصُّبْحِ الْوَتْرُ الْوَتْرُ
“Sesungguhnya Allah swt menambahkan satu salat kepada kalian, maka lakukanlah salat tersebut di antara salat Isya dan salat Subuh, yaitu salat witir, salat witir” (HR. Ahmad; shahih)
Sebagaimana riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra, dinyatakan bahwa salat witir merupakan amaliah yaumiyyah Nabi saw.
الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Witir bukan keharusan seperti shalat wajib kalian, akan tetapi ia adalah sunnah yang biasa dilakukan Rasulullah saw”. (HR. An Nasa’i dan Tirmidzi; shahih lighairihi)
Begitu utamanya shalat witir ini, sehingga Nabi saw – berwasiat kepada umatnya, melalui Abu Hurairah ra beliau berkata:
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ
“Kekasihku (Muhammad) saw mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan, salat dhuha dua rakaat dan salat witir sebelum tidur”. (HR. Bukhari dan Muslim)
B. WAKTU PELAKSANAANNYA
Shalat witir termasuk shalat malam yang bisa dilakukan dalam rentang waktu sejak setelah shalat Isya’ hingga terbitnya fajar. Bisa di awal waktu, tengah atau akhir malam. Bahkan menurut pandangan tertentu, salat witir sesungguhnya adalah nama lain shalat lail itu sendiri, baik tahajjud (untuk shalat malam sehari-sehari) maupun tawarih (jika dilaksanakan pada malam bulan Ramadhan).
Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadis yang secara redaksional menyebutkan shalat witir (awtara- yutiru) sesungguhnya adalah tentang shalat malam yang dikerjakan dengan jumlah tertentu dan formasi yang variatif.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ أَوَّلَ اللَّيْلِ وَأَوْسَطَهُ وَآخِرَهُ
Rasulullah saw mengerjakan shalat witir pada awal malam atau pertengahan malam atau akhir malam. (HR. Ahmad; shahih)
Namun yang paling utama adalah pada akhir malam, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Jabir ra:
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barangsiapa yang khawatir tidak akan sanggup bangun pada akhir malam, hendaknya ia berwitir pada permulaan malam. barangsiapa yang merasa sanggup bangun pada akhir malam, hendaknya ia berwitir pada akhir malam itu. Sebab mengerjakan shalat pada akhir malam itu disaksikan malaikat yang demikian itu lebih utama”. (HR. Muslim)
C. JUMLAH RAKAAT
Sesuai namanya, witir artinya ganjil, maka shalat witir bisa dilaksanakan dengan jumlah rakaat ganjil. Minimal satu rakaat dan maksimal 11 atau 13 rakaat.
Ada dua cara pelaksanaanya.
Yaitu fasl (terpisah/terputus) dikerjakan dengan formasi genap+ganjil. Cara ini mengacu pada dalil bahwa salat malam dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat, baru kemudian diakhiri dengan satu rakaat. Menurut informasi dari beberapa hadis, maka formasi ini sangat variatif bisa 2+1, 2+2+1, 4+3, 8+3, 8+5.. dll.
Kedua wasl (bersambung) yakni seluruh rakaat witir dilaksanakan sekaligus. Dengan masing-masing satu tasyahud dan satu kali salam pada rakaat terakhir.
Sebagaimana hadits dari Ummu Salamah ra:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبْعٍ أَوْ بِخَمْسٍ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ
Rasulullah saw berwitir tujuh atau lima rakaat secara bersambung dan tidak dipisahkan dengan salam (HR. An Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا
Rasulullah saw mengerjakan shalat malam 13 rakaat, termasuk di dalamnya shalat witir lima rakaat. Beliau tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat yang terakhir. (HR. Bukhari dan Muslim)
D. SURAT YANG DIBACA
Pada dasarnya, bacaan surat dalam setiap rakaat shalat hukumnya sunnah. Dalam hal ini berlaku prinsip “qira’ah muyassar” (bacaan surat atau ayat yang mudah). Namun demikian, ada salah satu hadis yang secara eksplisit menyatakan pembacaan surat-surat tertentu dalam shalat witir.
Namun jika shalat witirnya tiga rakaat, disunnahkan membaca surat Al A’la pada rakaat pertama dan surat Al Kafirun pada rakaat kedua.
Sedangkan pada rakaat ketiga membaca surat Al Ikhlas, surat Al Falaq dan surat An Nas.
وقد روي عن أحمد، أنه سئل، يقرأ بالمعوذتين في الوتر؟ قال: ولم لا يقرأ، وذلك لما روت عائشة، «أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – كان يقرأ في الركعة الأولى ” بسبح “، وفي الثانية ” قل يا أيها الكافرون “، وفي الثالثة ” قل هو الله أحد “، والمعوذتين» ، رواه ابن ماجه
“Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau ditanya, apakah beliau membaca surat al-Muawwidzatain di dalam witir? Beliau menjawab, kenapa tidak dibaca surat itu? Yang demikian ini berdasarkan hadits Nabi, bahwa Rasulullah membaca di rakaat pertama surat sabbihis dan qul ya ayyuhal kafirun, di rakaat ketiga surat Qul Huwa Allahu Ahad dan al-Muawwidzatain”. (HR. Ibnu Majah)
Namun terkait dengan pembacaan al-muawwidzatain, terdapat perbedaan pendapat disebabkan beberapa hadis tidak menyebutkannya, dan menganggap bahwa kata “al- mu’awwidzatain” adalah ziyadah rawi.
: ما روى أبي بن كعب، قال «كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يوتر ” بسبح اسم ربك الأعلى و ” قل يا أيها الكافرون ” و ” قل هو الله أحد» رواه أبو داود، وابن ماجه. وعن ابن عباس مثله. رواه ابن ماجه
“Dan menunjukan kepada pendapat kami, hadits riwayat Ubay bin Ka’ab beliau berkata; Rasulullah melakukan witir dengan membaca Sabbihisma rabbikal a’la, Qul ya ayyuhal kafirun dan Qul huwa Allahu ahad”. Hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah. Dan dari Ibnu Abbas terdapat riwayat yang senada, hadits riwayat Ibnu Majah.
E. NIAT SHALAT
Niat adalah urusan hati, namun melafalkannya bukanlah suatu yang dilarang. Menurut jumhur ulama selain madzhab Maliki, melafalkan niat hukumnya sunnah dalam rangka membantu hati menghadirkan niat.
Sementara itu, menurut madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafalkan niat karena tidak ditemukan contohnya dari Rasulullah saw. Adapun bagi yang ingin melafalkan niat, berikut tuntunannya:
-Ketika dilaksanakan secara wasl (sambung), maka disebutkan sesuai jumlah rakaat yg dikehendaki.
Untuk 1 rakaat:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَةً مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْوِتْرِ ثَلَاثَ…( خمس أو..) رَكْعَات مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
-Ketika dilaksanakan secara fasl, maka biasanya niat 2 rakaat dulu (atau sesuai jumlah rakaat yang dikehendaki) kemudian diakhiri 1 rakaat.
Adapun niat untuk pelaksanaanya secara fasl (terpisah), maka dalam setiap penggalan rakaatnya menyebutkan jumlah rakaat dengan tambahan kata “minal witr” misalnya sbb:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ رَكْعَتَيْن (أربع ركعات…) من الوتر مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
“Aku niat shalat sunnah dua rakaat (atau……) dari witir karena Allah Ta’ala”
Atau bisa juga:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الشفع مع الوتر رَكْعَتَيْنِ ( أربع ركعات أو….. د ) مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
“Aku niat shalat sunnah genap dari ganjil, dua rakaat ( atau…) karena Allah Ta’ala”
Untuk redaksi niat yang kedua ini tampak belum familiar. Namun pendapat ini didasarkan pada ayat berikut: وَّا لشَّفْعِ وَا لْوَتْرِ “demi yang genap dan yang ganjil,” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 3)
Dalam hal melafalkan niat, khususnya pada shalat witir secara fasl sering dijumpai kesalahan redaksi, sbb:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تعالى
“Aku niat shalat sunah witir dua rakaat karena Allah Ta’ala”
Lafal seperti di atas kurang tepat karena menyatakan “shalat sunah witir dua rakaat”. Hal ini tentu menyalahi hakikat shalat witir itu sendiri.
Kebolehan melaksanakan 2+1 atau 2+2+1..dst itu tetap dalam konteks bagian dari jumlah witir, BUKAN shalat dua rakaat yang terpisah (mustaqil).
Demikian uraian ringkas tentang Shalat Witir dan ketentuan pelaksanaannya. Mengingat hadis-hadis tentang salat lail (shalat witir) ini sangat variative, maka apa yang tertulis dalam risalah ini hanyalah salah satu pembacaan dari penulis, dengan tetap terbuka adanya pemahaman dalam perspektif lain.
Komentar Terbaru