Mungkin Ini Yang Terbaik
Oleh : Mohammad Fauzi Rahmawan
Kisah ini berawal dari sebuah perjalanan panjangku dalam berjuang mencari Ilmu. Dimana banyak sekali kesan-kesan yang kudapat didalamnya. Segala bentuk ujian, tantangan, rintangan, jatuh, bangun, bahkan sering aku menemui kegagalan di tengah-tengah perjalananku. Namun semua itu bukan menjadi masalah bagiku, bahkan bukan ketika aku gagal lantas aku diam dan pasrah menerima kenyataan.
Justru dari kegagalan yang pernah kudapat, bisa kupergunakan untuk muhasabah dan muthola’ah agar kedepannya bisa semakin lebih baik, karena sesulit apapun jalan yang kudapat pasti akan tetap kulewati. Urusan jatuh, gagal, dan lain-lain bagiku itu semua adalah bumbu dan tak perlu dipermasalahkan. Namanya juga sedang mencari, kalau ada salahnya kan wajar? Bukankah begitu?
Ada satu maqolah yang mengatakan bahwa hukum mencari ilmu bagi setiap manusia adalah wajib, kenapa kok sampai wajib? karena dengan ilmu pengetahuan kita bisa tahu tentang semua hal, dengan ilmu pengetahuan kita bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Di samping itu ilmu pengetahuan juga bisa menjadi salah satu faktor maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa.
Secara garis besar dengan ilmu-lah kita bisa mewarnai dunia dengan seindah mungkin. Dan dengan kita berilmu, kita bisa menciptakan suatu karya yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Aku tinggal di sebuah desa kecil yang kuanggap adalah surga dunia, aku hidup di sebuah rumah sederhana bersama kedua orang tua, aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara.
Saat aku duduk di kelas akhir MTsN 5 Trenggalek. Masih teringat betul dalam fikiranku, tepatnya 1 minggu sebelum Ujian Nasional aku menyempatkan pergi menemui guruku untuk konsultasi tentang studi lanjut setelah nanti aku keluar dari madrasah.
Singkat cerita, pada hari ahad aku berkunjung ke rumah beliau yang jaraknya hanya beberapa kilo dari tempat tinggalku, sesampainya di sana aku disambut oleh beliau dan dipersilahkan duduk di sebuah sofa. Dalam kunjunganku kali ini aku langsung bertanya :
“Assalamualaikum ustadz, sebelumnya mohon maaf apabila kedatangan saya kemari mungkin mengganggu aktivitas ustadz, saya disini mau konsultasi tentang perjalanan pendidikan saya. Kalau boleh terus terang pada ustadz, saya masih bingung menentukan langkah saya kedepannya mau ke mana. Pada satu sisi, dari pihak orangtua menginginkan saya untuk masuk ke pondok pesantren. Sementara saya sendiri ingin melanjutkan di sekolah sekitar sini ustadz. Karena terus terang saya masih belum sanggup kalau harus berpisah dengan orang tua dan saya juga masih belum bisa memanagement dalam segi apapun. Sempat saya berontak untuk menolak keinginan dari orang tua, saya juga sudah ber-istikhoroh dan ber-munajat. Namun hingga saat ini masih belum saya temukan jalan keluarnya, mungkin dari keluh kesah saya ustadz bisa memberi saran atau masukan, barangkali saran yang ustadz beri bisa menjadi salah satu washilah untuk menentukan kemana setelah ini saya harus melangkah.”
Lantas ustadz menjawab:“Nak, Semua orangtua itu tidak mungkin memutuskan sesuatu itu tidak berdasarkan sebab akibat. Orangtuamu memintamu agar masuk ke pondok pesantren itu bukan berarti orangtua mu jahat, namun orangtuamu tahu tentang dirimu sesungguhnya. Mulai dari sifatmu, akhlakmu, dan segalanya tentang dirimu, sehingga orangtuamu merasa tidak sanggup untuk mendidikmu. Oleh karena itu kamu dipondokkan dengan harapan kamu disana bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Nanti di sana kamu akan diajari semua hal yang notabennya belum pernah kamu temui dan belum pernah kamu lakukan sebelumnya. Ustadz yakin, dengan kamu belajar ilmu-ilmu kalam, ilmu khal, dan lain sebagainya, suatu saat nanti kamu pasti bisa menemukan jati dirimu sebagai manusia. Sama halnya, untuk apa kamu diciptakan, oleh siapa kamu diciptakan, dari apa kamu diciptakan dan akan kembali kemana setelah kamu diciptakan ”.
Sontak setelah ustadz memberikan wasiat, seketika hatiku terenyuh, ternyata ada maksud terselip dalam hati orangtuaku yang menginginkanku selamat dalam segi apapun, dan seakan-akan tak ingin sedikitpun dari diriku tergores oleh jurang kebodohan. Akhirnya dengan segala pertimbangan yang telah kudapat, maka dengan kelapangan hati aku memilih mengikuti apa kata orangtuaku untuk masuk ke dunia pesantren.
Singkat cerita, setelah aku dinyatakan lulus oleh madrasah, aku pun melawat bersama orangtua ke Kota Jombang. Sebuah kota yang sangat terkenal, dimana banyak sekali santri santri hebat yang terlahir dari kota ini, mungkin dengan latar belakang ini orangtuaku sengaja membawaku kemari dengan harapan supaya kelak aku bisa menjadi seorang yang benar benar hebat dan berkualitas saat kembali ke tengah tengah masyarakat. maka seluruh cerita perjalananku sepenuhnya ku pasrahkan kepada orangtua. Di mana pun aku ditempatkan cukuplah orangtua yang memilih dan menentukan, karena tak mungkin orangtua akan menjerumuskan anaknya ke jalan yang salah. Ustadz pun saat itu pernah berwasiat seperti itu. Pendek cerita, pada malam pertama setelah aku menetap di pondok, aku sengaja naik ke lantai paling atas untuk melihat suasana sekitar sambil ditemani sang rembulan yang nampak terang menyinari panjangnya malam dan diiringi oleh hembusan angin yang menyapa tubuhku secara perlahan. Pada malam itu aku menatap sang rembulan yang sedang bersinar dan seolah-olah aku bertanya padanya “Wahai bulan, adakah sebuah keindahan yang tersingkap di tempat ini? Ataukah sebuah keajaiban yang mengendap dan mengabulkan semua impian? Adakah semua itu di tempat ini? Di sebuah tempat sederhana, kumuh, dan padat penduduk ini? Mengapa semua orang berbondong-bondong masuk ke tempat ini? Rela berjejal-jejalan tidur dan mengantri dalam segala hal?
Tiba-tiba datang seorang pengurus menghampiri dari belakang, sembari mengajakku untuk duduk di sebuah tikar yang ada di depan pintu. Sambil basa basi, aku pun mulai berkenalan dengan sang pengurus dan kudapati dia bernama Rohman. Salah satu dewan pengurus di pondok ini yang menjabat koordinator bidang pendidikan. Setelah saling berkenalan aku ditanya oleh Mas Rohman :
“Ada apa mas? Kok saya lihat seperti sedang ada masalah. Kalau boleh cerita, kamu bisa bilang sama saya, barangkali saya bisa membantu,” ujar Mas Rohman.
(sambil menarik nafas) “Saya bingung mas, saya ini belum punya kemampuan apapun, bahkan saya melihat sendiri teman-teman itu sudah mahir dalam memahami sebuah ilmu, sementara saya?,” tanyaku dengan nada lirih.
“Saran saya sih ndak usah memikirkan sampai sana, sudah jalani saja sesuai alurnya, Tuhan itu tidak mungkin membiarkan sampean menderita, apalagi di usia-usia sampean kayak gini, jangan menganggap bahwa sampean di sini itu hidup seorang diri, anggaplah temanmu yang lain itu ibarat keluargamu sendiri. Ketika mereka sudah sampean anggap sebagai keluarga, maka di situ akan timbul rasa memiliki, rasa peduli, dan rasa empati, seakan-akan mereka adalah sosok yang berarti di hidupmu. Jadi, tetap semangat dan jangan mudah putus asa dalam segala hal. Pada intinya mantabkan saja niat dan tujuan sampean datang kemari, ingat orang tuamu di rumah sedang menanti kesuksesanmu. Maka jangan sampai sampean mengecewakan mereka. Ya walaupun terkadang kita itu berangkat dari paksaan, namun sekalipun terpaksa tapi jika kita lakukan secara continue dan istiqomah insyaAllah nanti dengan berjalannya waktu pasti bisa ikhlas dengan sendirinya. Setelah sampean timbul rasa ikhlas, maka sampean pasti akan terasa nyaman.Dan tatkala sampean sudah mulai merasa nyaman, melakukan apapun itu akan terasa indah dan bermakna pula hasilnya. Jadi tak perlu khawatir, Tuhan itu pasti bersama dengan orang-orang yang sabar.” jawab Mas Rohman.
Kemudian Mas Rohman menambahi “Pada dasarnya semua temanmu itu juga pernah merasakan apa yang kini kamu rasakan, bahkan sama persis dengan situasimu saat ini. Jangankan teman-temanmu, mas aja dulu saat awal masuk ke pesantren merasa sedih juga, kemudian, lambat laun setelah banyak mengikuti kajian kajian, mas mulai sadar bahwa kita itu harus tetap semangat dalam mencari ilmu. Kita nggak boleh menyerah, lebih-lebih putus asa. Karena Imam Syafii R.A pernah berkata : Jika kamu tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kamu harus tahan dengan perihnya kebodohan. Maka dari itu kita nikmati saja alur perjalanan dari sang maha pencipta. Jangan berfikiran bahwa kita tidak bisa-lah, tidak mampu-lah atau apalah itu. Pokoknya entah kamu bisa atau tidak, kamu harus berani untuk berangkat.”
Saat itu mas langsung berfikir secara spontan, bagaimana mungkin sih aku takut menjadi bodoh, sementara aku ini adalah seorang hamba dari Dzat yang maha mengetahui. Dari sini mas termotivasi untuk semakin semangat dalam mencari ilmu dan mengembangkan bakat yang mas punya. Nah pada intinya sampean harus berani mencoba dan jangan takut kalau seandainya sampean berbuat kesalahan, namanya juga masih belajar? Kalau salah ya memang wajar. Dan satu lagi, sampean juga harus berfikir positif dalam segi apapun, anggap saja sesuatu yang sulit itu sudah pernah sampean lakukan di masa lalu. Jadi, nanti tidak akan ada keraguan di dalamnya. Yang terakhir pesan mas untuk sampean, apabila kita percaya akan ada pelangi yang indah setelah hujan, maka kita juga harus percaya akan ada kesuksesan setelah panjangnya perjuangan.
Setelah banyak di nasehati oleh Mas Rohman, perlahan aku mulai menyesuaikan diri dengan suasana yang ada. Ternyata subhanallah, dunia pesantren itu tidak seburuk yang aku kira selama ini. Yang dulu aku memikirkan serba terbatas lah, serba antri lah, serba berjubel-jubel lah dan lain apalah itu. Ternyata semua itu salah, justru dari sinilah aku mulai menemukan arti hidupku sebagai manusia, dan aku sadar ternyata terdapat kesan tersendiri dari peliknya mengantri, sempitnya tidur, lelahnya duduk saat mengaji dan masih banyak lagi. Secara tidak langsung kesempatan ini menjadi cerita tersendiri bagiku bahwa sesuatu yang diberikan oleh Tuhan pada kita sekalipun itu pahit dirasakan namun ternyata itu adalah hal yang terbaik bagi kita, begitupun sebaliknya.
Dan aku sangat bersyukur pada Tuhan yang telah mengarahkanku kesini, bagiku barada di pondok ini adalah sebuah kesempatan dan kenikmatan yang luar biasa. Sempat aku berfikir, mungkin banyak anak anak diluar sana yang ingin sekali untuk mondok, tapi pada kenyataanya tidak semua dari mereka memiliki kesempatan untuk mondok. Maka aku sebagai seorang yang diberi izin oleh Tuhan untuk bisa mondok dengan segala aspek yang telah terpenuhi, aku harus bisa memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Aku menyebut waktu itu bagaikan emas, karena apabila waktu telah berlalu maka tak akan mungkin bisa terulang lagi.
“Don’t be afraid to make mistakes when studying, because many succesfull people learn from a mistake”
(mohammad fauzi rahmawan)
Cerpen ini disusun oleh :
Nama : Mohammad Fauzi Rahmawan
TTL : Surabaya, 01 Mei 2002
Satuan Pendidikan : MA Negeri Tambakberas, Jombang
Disusun Tanggal/Pukul : 01 Mei 2018/10:25:10
Karya Ini Di Revisi Pada
Hari : Kamis
Tanggal : 08 April 2021
Pukul : 08:09:15
Komentar Terbaru