SEKILAS INFO
  • 4 tahun yang lalu / Selamat datang di website Pesantren Subulussalam Tulungagung
WAKTU :

ISTAJIB

Terbit 30 April 2021 | Oleh : redaksi | Kategori : Cerpen
ISTAJIB

Oleh: Handan Nurin Jauzul Hindi

Bicara tentang kehidupan pesantren begitu banyak cerita hingga tak kuasa tertuang keseluruhan dalam sebuah tulisan. Canda tawa para santri, setoran ini itu, antri yang jadi cemilan sehari-hari, peraturannya, hingga kisah kasih di pesantren. Eh. Dan masih banyak lagi bab-bab menarik dalam kehidupan pesantren. Pokoknya cerita pesantren itu bikin gak bisa move on.

Dalam cerita ini sebut saja namanya sebagai Haya. Hayati? Oh bukan-bukan. Nama lengkapnya Fasya Haya. Haya, ia duduk di bangku Aliyah, seseorang yang dituntut oleh keadaan untuk mengejar prestasi sekaligus dituntut untuk menaungi kehidupan yang ada di pesantren. Keluh kesah sering terungkapkan dalam buku diari miliknya. Malam nangis, siang senyum. Rutinitas tersebut ia lakukan dan tetap optimis dalam menjalani hari-harinya.

Tak mudah baginya untuk menjadi metal baja. Menaungi kebutuhan pesantren tidak mudah, apalagi masih dalam usia labil. Namun ia tetap berjalan dan terus menyelesaikan tanggungan satu persatu. Amanah yang tak mudah dijalankan hingga pernah suatu ketika ia ingin menyerah. Tiap ingin menyerah ia selalu teringat wejangan Bu Nyai “Sopo manut bakal katut, sopo gak manut bakal mrucut”. Bagi seorang santri barokah adalah hal yang selalu diharapkan untuk digapai. Tidak mudah, tapi pasti bisa.

Keadaan pondok yang bisa dibilang krismoneter sebagaimana kepemimpinan Pak Soeharto. Bagaimana tidak? kuartikan begini jika keadaan keuangan pondok minus padahal kehidupan pesantren terus berjalan. Kebutuhan bahan makanan sering menipis buatnya was-was. Listrik pondok belum terbayarkan, padahal penerangan harus stay untuk kegiatan para santri. Ditambah atasan antara satu dengan lainnya tidak sependapat membuatnya bingung harus ikut perintah yang mana. Keadaan ini timbul dari penerimaan santri baru yang membludak yang terlalu banyak mengajukan dispensasi.

Satu persatu Haya pelajari, satu persatu Haya pahami, satu persatu Haya memanage kebutuhan pondok. Haya berkonsultasi dengan senior-senior yang telah lulus dari pesantren. Haya berkonsultasi dengan pengurus pondok-pondok lain. Bagaimana cara menjadikan pesantren yang maju bukan hanya berusaha berkembang tapi endingnya bantet melulu. Alhamdulillah ia mendapat pengarahan.

Ketika Haya menginjak kelas akhir, sebisa mungkin ia membimbing generasi penerusnya. Dan Alhamdulillahnya kini pesantren yang ditempati Haya dahulu menjadi pesantren yang terus berinovasi dan banyak kemajuan-kemajuan di dalamnya. Misalnya seperti adanya pengadaan sab’u matsani. Sab’u matsani merupakan suatu bentuk penanaman bahan-bahan makanan, seperti sayur mayur, empon-empon, dan ternak ikan. Dinamakan sab’u matsani sebab terdiri dari tujuh sap.

Setelah muwadda’ah si Haya sowan ke ndalem untuk pindah pondok karena suatu hal berupa kuliah di luar kota. Dag dig dug serrr jantung Haya, khawatir tidak diberi izin. Sebab biasanya santri yang berperan untuk pondok sulit mendapat izin boyong. Hari-hari sebelum muwadda’ah ia menulis dalam buku diarynya dan sering berdo’a ”Ya Allah jika keberadaanku di luar pondok ini membuatku lebih baik, membuatku lebih berkembang maka izinkanlah saya untuk pindah pondok, saya telah berusaha semampuku untuk menata keadaan pondok ini. Namun jika keberadaanku di sini lebih baik dan di luar madlorot, maka saya rela tetap berada di sini”. Doa Haya terjawab Abah, Ibuk mengangguk bertanda meng-iyakan dengan berpesan “Nduk, wiridane diistiqomahne, neng ndi ae atine Allah.. Allah.. sholawat sing akeh, Laqodjaa e ojo lali. Lan ojo lali prinsip pondok yo” Haya menjawab: “pangestune Bah, Buk”. “jek ileng prinsip pondok nduk?” Tanya Abah Yai kepada Haya “enggeh Bah, tasih. diantaranya dzikrullah, usahakan selalu suci, sebarkan manfaat hindari madlorot, laksanakan sesuai aturan lan tanya bila tidak tau”

Hari-hari menjalani perkuliahan okelah harus bisa belajar menyesuaikan diri, belajar menyesuaikan keadaan dengan kampus ditambah jurusan yang Haya ambil bukan agamis melainkan lebih ke umum. Sosiologi, ya Haya mengambil jurusan Sosiologi. Entah apa alasan gamblangnya yang membuat ia tertarik ambil jurusan tersebut. Mungkin sebab termotivasi pembelajaran kehidupan masa lalunya.

Enam semester Haya enjoy menjalani kehidupan sebagai mahasiswi sekaligus mahasantri, keadaan yang membingungkan terjadi padanya. Ya, Ia mendapat terfon dari bu nyainya waktu duduk di bangku Aliyah dulu. “Nduk, tanggal 08 iso mrene? Ono hal sg perlu diomongne, wongtuane sampyan pisan kon mrene ya” pertanyaan “ada apa ini” terus terlintas dalam benak Haya.

Tepat tanggal 08 Haya beserta orangtuanya sowan ke ndalem menemui Bunyai. Di ruang tamu sudah ada seorang pemuda dan orang tua pemuda tersebut. Sontak kaget si Haya “Loh, dia”. Haya tak asing dengan pemuda tersebut, sebut saja namanya Uqi, Muhammad Syauqi. Ya, seorang pemuda yang diam-diam menaruh hati pada Haya sejak Haya duduk kelas sepuluh Aliyah. Seorang pemuda yang suka nderek Abah ngaos di mana-mana. Seorang pemuda dari keluarga terhormat. Seorang pemuda keturunan Yai. Pada pertemuan tersebut membicarakan tentang bagaimana kedepannya. Bagaimana langkah baiknya. Apakah sudah siap ke akad. Haya bingung minta ampun “Apa aku mimpi? Apa ini benar-benar nyata?. Senang beraduk dilema, dilema tak tau bagaimana dan harus bagaimana. Setelah Haya berfikir dengan cukup ia menjawab sambil menunduk “Nak niki mpun dalan kulo, nggeh kulo lampahi.bismillah”. Tiga bulan kemudian Haya dan Uqi melangsungkan akad. Keduanya merasa saling beruntung memiliki. Dalam hati Haya sangat berterimakasih telah mengijabahi doa-doa yang selama ini ia lantunkan “Robbi hablii milladunka zaujan thoyyiban wayakuunu shoochiban lii fiddiini waddunyaa wal aakhirah”.

SebelumnyaMungkin Ini Yang Terbaik SesudahnyaAdab Terhadap Guru

Berita Lainnya

0 Komentar