Video Profil Prof. Dr. Hj. Salamah Noorhidayati, M.Ag. || “Senandung Pena Sang Juara”(Pengasuh Pesantren Subulussalam Tulungagung)
Maaf Bunda, kami izin menuliskan transkrip dari video tersebut untuk mengambil inspirasi-inspirasi dan meneladani semangat belajar dari njenengan.
“Hai, Amah.”
Begitulah sapaan akrab yang melekat pada sosok Salamah Noorhidayati. Ia lahir pada 24 Januari 1974, di Desa Tajen, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah anak keempat dari delapan bersaudara, buah hati pasangan H. Muhammad Masnan, seorang pegawai dinas perikanan, dan Hj. Hanifah, seorang guru.
Sejak kecil, Amah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan dan kedisiplinan. Di bawah asuhan orang tuanya, semangat belajar dan cinta ilmu mulai tumbuh dalam dirinya. Kegemarannya membaca, menghafal, dan menyalin pelajaran menjadi rutinitas harian. Ia bahkan terbiasa menyalin catatan pelajaran lalu menghafalnya hingga larut malam, terutama menjelang ujian. “Kalau belum hafal catatan, rasanya belum bisa tidur,” kenangnya.
Hari-harinya begitu padat. Pagi belajar di SD Negeri 5 Pamotan, siang hingga sore belajar di Madrasah Diniyah Fatimiyah, dan malam hari mengaji di rumah ustadznya. Suasana belajar di madrasah begitu melekat di benaknya. Ia menyalin tulisan dari papan tulis, mendengar penjelasan guru, dan memaknai kitab-kitab klasik. Dari sinilah ia mulai terbiasa membaca kitab gundul dan bahkan telah belajar Alfiyah sejak dini.
Amah dikenal sebagai murid berprestasi. Sejak kelas satu SD hingga lulus, ia selalu meraih peringkat pertama dan bahkan menjadi lulusan terbaik. Julukan “bintang kelas” melekat padanya, meski tak jarang prestasinya dipandang sebelah mata hanya karena ia anak dari pendiri sekolah. Hingga akhirnya, pada kelas empat, ia pindah ke SD INPRES VI dan kembali menorehkan prestasi yang sama gemilangnya.
Setamat SD, Amah melanjutkan ke MTsN Lasem (MTsN 2 Rembang Jl. Jatirogo Km. 0.5 Pamotan Rembang). Di sana, ia kembali mencuri perhatian lewat prestasi akademik dan keaktifannya dalam berbagai lomba antar sekolah. Ia meraih nilai tertinggi Ujian Nasional se-Karesidenan Pati. Sosoknya dikenal bukan hanya cerdas, tapi juga rendah hati dan tidak membeda-bedakan teman.
Saat menentukan pendidikan lanjut setelah MTs, sang ibu memberi pesan mendalam, “Sayang kalau kamu hanya sekolah di Aliyah biasa. Kamu mampu lebih.” Maka, tahun 1989, Amah memulai perjalanan barunya sebagai santri di Pondok Pesantren Putri Al-Mawaddah, Ponorogo, menjadi angkatan pertama di pesantren yang kala itu baru berdiri.
Amah menjalani kehidupan di Pesantren dengan tekun meski penuh tantangan. Ia terbiasa belajar di teras dengan papan tulis seadanya, menulis bahkan di punggung teman, demi mencatat pelajaran. Pernah juga mengikuti daurah di Gontor, belajar langsung dari masyayikh asal Madinah yang berbicara dengan bahasa Arab yang fusha. Materi yang berat tidak membuatnya menyerah. Ia menyiasati dengan mencatat ulang hasil rekaman materi. Usaha itu membuahkan hasil luar biasa: Amah menjadi salah satu dari sepuluh peserta terbaik dengan predikat mumtaz dan mendapatkan kesempatan tawaran kuliah ke luar negeri baik di Mesir, Mekkah, atau pun di Ummul Qura (Madinah).
Meski mendapatkan tawaran kuliah ke luar negeri, ia memilih tetap di tanah air demi mendampingi ibunya yang sedang sakit. Tahun 1993, ia melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di kampus ini, selain berprestasi secara akademik, ia aktif dalam organisasi seperti Pramuka dan berbagai kegiatan kemahasiswaan lainnya. Pada Tahun 1995, di ajang Pramuka Nasional, ia bahkan terpilih sebagai peserta terbaik dan mendapatkan hadiah umrah. Penghargaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia mendapat hadiah umrah dari Menteri Agama RI yakni Dr. dr. H. Tarmizi Taher (Menteri Agama RI periode 1993-1998) atas prestasi gemilangnya dalam hal kepramukaan.
Puncaknya, tahun 1998, ia lulus sebagai wisudawan terbaik IAIN Sunan Kalijaga. Sebuah pengakuan publik atas ketekunan dan semangat belajarnya. Namun di balik semua prestasi itu, ada tantangan pribadi yang terus ia hadapi: prasangka bahwa kesuksesannya adalah hasil “fasilitas” dari orang tua atau kerabat. Di sinilah muncul filosofi hidup yang terus ia pegang, “Ha Anadza”, inilah aku. Sebuah Prinsip untuk berjuang tanpa lelah untuk membuktikan pada dunia bahwa saya mampu, inilah hasil kerja kerasku.
Setelah lulus, ia terpilih mengikuti program pembibitan calon dosen tahun 1998–1999 di Jakarta. Dari sinilah langkah awal pengabdiannya sebagai pendidik dimulai. Salamah Noorhidayati kemudian menikah dengan Ahmad Zainal Abidin dan dikaruniai empat orang anak: Izzah Nur Fadilah, Zidan Kamal Makarim, Faisal Reza Habibie, dan Zaneta Kamila Putri.
Tahun 2009, Ia menjalankan amanah dari Para Gurunya untuk mendirikan Pesantren. Maka dengan penuh pengharapan ridho dan berkah dari para guru maka berdirilah pesantren Subulusalam. Pesantren yang memiliki visi misi mencetak generasi qur’ani ini membekali para mahasiswa dalam bidang bahasa, fiqih, akhlak, dan tahfidz qur’an.
Sejak menjadi dosen di STAIN Tulungangung (Sekarang Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung), ia mendapat penghargaan satyalancana dua kali dari Presiden Republik Indonesia. Kini, di masa Pengabdiannya yang ke-26 tahun, beliau mendapat gelar kehormatan menjadi guru besar dalam bidang ilmu hadis. Sungguh prestasi yang membanggakan dan sangat menginspirasi kami.
📚 Pelajaran Inspiratif yang Bisa Diteladani
- Cinta Ilmu Sejak Dini
➤ Kegemaran menyalin, menghafal, dan membaca sejak kecil menjadi pondasi prestasinya di masa depan. - Kedisiplinan adalah Kunci
➤ Jadwal harian yang padat tidak membuatnya menyerah, justru ia menjalaninya dengan ikhlas dan penuh semangat. - Belajar dari Keterbatasan
➤ Meski fasilitas terbatas, seperti menulis di punggung teman, tidak menghalanginya untuk terus belajar. - Tetap Rendah Hati dalam Prestasi
➤ Meski sering menjadi juara, ia tetap bersikap sederhana dan tidak membeda-bedakan teman. - Semangat Mandiri dan Tangguh
➤ Tidak mengandalkan “nama besar” orang tua. Ia membuktikan diri dengan kerja keras dan tekad sendiri. - Tidak Menyerah di Tengah Ujian Hidup
➤ Ia menolak kesempatan kuliah di luar negeri tapi tetap Kuliah di dalam Negeri demi merawat ibunya yang sakit, menunjukkan bakti dan prioritas keluarga. - Aktif dalam Organisasi
➤ Keaktifannya di luar kelas seperti Pramuka, membuatnya tumbuh menjadi pemimpin yang tangguh dan komunikatif. - Menghargai Proses, Bukan Sekadar Hasil
➤ Ia menghargai setiap proses belajar, termasuk mencatat ulang materi dari rekaman pengajian demi pemahaman yang dalam. - Prinsip Hidup yang Kuat: “Ha Anaaazda”
➤ Ia memiliki prinsip hidup untuk dikenal karena kompetensinya sendiri, bukan karena privilese orang tua. - Mengubah Tantangan Menjadi Kekuatan
➤ Kritik, prasangka, dan tantangan sosial dijadikan bahan bakar untuk membuktikan kapasitas diri.
Kisah bunda Prof. Salamah Noorhidayati, M. Ag adalah contoh nyata bahwa kegigihan, ketekunan, dan integritas dapat membawa seseorang menuju puncak prestasi, meski berasal dari tempat yang jauh dan dengan keterbatasan yang besar. Ia membuktikan bahwa perempuan bisa cemerlang di ranah akademik, sosial, dan spiritual jika bersandar pada niat yang tulus dan semangat pantang menyerah.
Kisah hidupnya adalah kisah perjuangan, ketekunan, dan keikhlasan. Dari desa kecil di Rembang, ia melangkah penuh keyakinan, menjawab tantangan hidup dengan prestasi, dan menjadikan ilmu sebagai jalan pengabdian. Sosok yang layak menjadi inspirasi: rendah hati dalam pencapaian, dan besar dalam semangat memberi.
Bunda, do’akan kami bisa meneladani panjenangan…Amiin
Ditulis oleh: Abi Aribah
Komentar Terbaru