SEKILAS INFO
  • 5 tahun yang lalu / Selamat datang di website Pesantren Subulussalam Tulungagung
WAKTU :

Mencari Santri yang Hebat di Zaman Sekarang

Terbit 27 Oktober 2025 | Oleh : redaksi | Kategori : Catatan Pengasuh
Mencari Santri yang Hebat di Zaman Sekarang

Oleh: Prof KH Ahmad Zainal Abidin, MA (Pengasuh Pesantren subulussalam Tulungagung)

Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, dan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia terus berjuang mencetak generasi unggul di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial. Namun, dalam berbagai dinamika itu, satu hal tetap menjadi ideal yang tidak berubah: lahirnya santri yang hebat, bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam spiritualitas, disiplin, akhlak, dan pengabdian sosial.

Santri yang hebat bukanlah mereka yang hanya mampu membaca kitab kuning atau fasih dalam bahasa Arab, tetapi mereka yang shalat di waktu shalat, mengaji di waktu mengaji, belajar di waktu belajar, dan mematuhi peraturan pondok dengan penuh kesadaran. Santri seperti ini menunjukkan bahwa kedisiplinan adalah bagian dari ibadah. Ia menempatkan setiap aktivitas pada waktunya, sebagaimana prinsip “inna ash-shalata kanat ‘alal mu’minina kitaban mauquta” bahwa shalat memiliki waktu tertentu dan harus dijaga ketepatannya.

Di tengah tantangan era digital, disiplin waktu menjadi kunci. Santri yang hebat mampu menundukkan waktu, bukan diperbudak olehnya. Ia tahu kapan harus beribadah, kapan belajar, kapan beristirahat, dan kapan bermedia sosial. Dunia modern menawarkan banyak distraksi gawai, hiburan daring, dan berbagai bentuk kesibukan palsu namun santri yang hebat menjadikan teknologi sebagai sarana, bukan tuan yang menundukkan dirinya. Ia menguasainya tapi untuk kemanfaatan diri dan sesama.

Selain itu, santri yang hebat adalah santri yang menghormati guru. Dalam tradisi pesantren, adab kepada guru menempati posisi tertinggi. Imam Malik pernah berkata, “Aku belajar adab dari guruku selama tiga puluh tahun, dan belajar ilmu hanya selama dua puluh tahun.” Ini menunjukkan bahwa adab adalah fondasi yang membuat ilmu bermanfaat. Santri yang hebat tidak hanya menghargai guru karena statusnya, tetapi karena menyadari bahwa guru adalah perantara antara dirinya dan Allah dalam memperoleh cahaya ilmu. Ia tidak menyanggah dengan sombong, tidak menyepelekan nasihat, dan tidak mencari popularitas di atas kehormatan guru.

Santri yang hebat juga menyayangi kawan-kawannya. Hidup di pesantren adalah miniatur masyarakat: ada dinamika sosial, ada perbedaan karakter, dan ada potensi gesekan. Namun, di sinilah latihan keikhlasan dan empati. Santri yang hebat tidak mencari musuh di antara sesama, melainkan menanamkan ukhuwah, tolong-menolong, dan saling mendoakan. Ia memahami pesan Rasulullah SAW: “Tidak sempurna iman seseorang sampai ia senang saudaranya memperoleh apa yang ia peroleh untuk dirinya sendiri.” Dalam kehidupan pondok, sikap saling peduli — dari hal kecil seperti berbagi sabun hingga saling senyum dan menegur ketika lalai adalah bentuk nyata cinta karena Allah.

Kemudian, santri yang hebat adalah santri yang tetap taat kepada orang tua ketika di rumah. Mungkin selama mondok, ia belajar kemandirian, tetapi ketika kembali ke pangkuan keluarga, ia tidak kehilangan adab kepada ibu dan bapak. Ia tidak merasa lebih tahu, meski telah belajar ilmu agama. Justru semakin tinggi ilmunya, semakin tunduk ia kepada orang tua. Sebab, ridha Allah bergantung pada ridha kedua orang tua, dan keberkahan ilmu akan hilang bila ia durhaka.

Di masa liburan, santri hebat membantu pekerjaan rumah, menolong tetangga, bahkan menjadi panutan di masyarakat. Ia tidak menganggap dirinya lebih suci, tetapi justru menjadi pelayan umat. Ketika masyarakat butuh khatib, ia siap. Ketika anak-anak butuh guru mengaji, ia hadir. Ketika masjid sepi, ia menjadi penggerak. Santri hebat adalah santri yang membawa keberkahan ke mana pun ia melangkah.

Dalam konteks santri modern, menjadi santri hebat juga berarti menghargai tetangga, baik di pesantren maupun di kampung halaman. Tetangga adalah ujian sosial: bagaimana seseorang bisa menjaga lisan, tidak mengganggu, dan menebar salam. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa orang yang beriman harus berbuat baik kepada tetangganya. Maka, santri yang hebat tidak hanya berakhlak baik di dalam pondok, tetapi juga di luar pondok.

Santri yang hebat bukan berarti tanpa kesalahan. Mereka tetap manusia yang berproses, jatuh dan bangun. Namun, kehebatan sejati terletak pada kemauan untuk terus memperbaiki diri. Ketika lalai, ia segera bertaubat. Ketika malas, ia memotivasi diri dengan niat mencari ridha Allah. Ketika gagal, ia belajar dari kesalahan. Ia tidak mudah menyerah, sebab ia tahu perjuangan menuntut ilmu adalah jihad fi sabilillah.

Dalam pandangan Islam, kehebatan bukan diukur dari popularitas, kekayaan, atau gelar. Tetapi dari taqwa, keikhlasan, dan manfaat yang diberikan. Santri hebat adalah santri yang bermanfaat bagi sesama, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Maka, tugas pesantren hari ini bukan hanya mengajarkan kitab dan teori, tetapi membentuk karakter santri yang mampu hidup dengan nilai-nilai ilahiah di tengah realitas dunia yang cepat berubah. Pesantren harus terus menjadi mercusuar moral bangsa mencetak santri yang disiplin dalam ibadah, sopan dalam berbicara, jujur dalam tindakan, bijak dalam bermedia, dan kuat dalam menghadapi ujian zaman.

Santri yang hebat bukan hanya calon kiai atau ustaz. Ia bisa menjadi guru, dokter, insinyur, jurnalis, birokrat, atau petani, selama ia membawa nilai-nilai pesantren: kejujuran, kerja keras, kesederhanaan, dan pengabdian. Ia meneladani ulama besar yang berkiprah di berbagai bidang dari Imam Ghazali yang ahli fikih dan filsafat, hingga Ibnu Sina yang menguasai kedokteran dan teologi.

Dalam konteks kebangsaan, kita perlu menegaskan kembali bahwa santri hebat adalah pahlawan masa kini. Ia berjuang dengan pena, bukan pedang; dengan ilmu, bukan amarah; dengan doa, bukan tipu daya. Di tangannya, pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi pusat peradaban.

Oleh karena itu, mari kita semua guru, pengasuh, wali santri, dan masyarakat bahu-membahu menciptakan ekosistem pendidikan yang menumbuhkan santri hebat: yang shalat di waktu shalat, mengaji di waktu mengaji, melaksanakan peraturan pondok dengan disiplin, menghormati guru, menyayangi kawan, belajar dengan sungguh-sungguh, berbakti kepada orang tua, dan menghargai tetangga.

Sebab, dari rahim santri seperti inilah akan lahir generasi pembaharu bangsa yang tak hanya pandai berbicara, tapi juga bekerja; tak hanya berilmu, tapi juga berakhlak; tak hanya cinta tanah air, tapi juga cinta Tuhan. Mereka adalah harapan masa depan Indonesia yang beradab, damai, dan penuh cahaya.

SebelumnyaPesantren Subulussalam Gelar Pembukaan Hari Santri Nasional 2025

Berita Lainnya

0 Komentar