karya Tulis Santri Marhalah Tsalisah Dalam Rangka Memperingati Hari Ibu
Bijak dalam Bermedia; Sebuah Cerita dan Refleksi
Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama. Sejak pandemi kemarin, isu-isu radikalisme agama semakin memanas dalam panggung media. Terjadinya bom bunuh diri di Makassar, pemberontakan di Sigi, dan isu- isu lainnya. Isu radikalisme dan paham agama yang ekstrim tersebut tak lain bertujuan untuk memecah belah kesatuan bangsa, padahal negeri ini memiliki satu semboyan yang sangat sakral, “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetap tetap satu jua. Dengan adanya semboyan ini yang tergenggam kuat di kaki burung garuda diharapkan bisa mempertahankan keberagaman meski hiruk-pikuk semakin ramai mengatasnamakan perbedaan.
Sebagai seorang santri, kita memiliki kewajiban untuk menangkal paham-paham radikal tersebut. Pada hakikatnya hal ini tak hanya menjadi tugas seorang santri melainkan semua elemen masyarakat karena tujuan utamanya adalah untuk tetap menjaga keutuhan negara. Agama jangan dijadikan sebagai alat untuk membenarkan suatu perbuatan kriminal karena dalam agama sendiri perbuatan yang menyalahi prinsip kemanusiaan itu jelas terlarang. Jika kita telisik lebih detail, dalam Al Quran pun termaktub bahwa dalam agama tiada paksaan, Laa ikraaha fid diin. Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari tiadanya paksaan dalam menganut agama adalah dalam menganut akidahnya. Hal ini memberikan pengertian bahwa jika seseorang telah memilih satu akidah keyakinan, katakan Islam, maka ia terikat dengan tuntutan-tuntutannya, ia berkewajiban untuk menjalankan segala perintah syariat tersebut. Adapun bila melanggar maka akan mendapatkan konsekuensinya.
Bila pun seseorang memandang orang lain yang berbeda akidah maka sudah barang tentu tidak boleh menjudge bahwa ia kafir dan salah. Kebenaran/truth adalah milik semua agama, setiap agama memiliki kebenarannya masing-masing yang selalu diikuti oleh penganutnya. Jangan sampai mengklaim kebenaran/ truth claim hanya milik diri sendiri. Manusia hanyalah ciptaan Allah yang lemah dan tak luput dari kesalahan. Kadang pembelaannya pada Tuhan dengan cara menyorakkan jihad (yang dalam hal ini hanya dimaknai peperangan) hanya akan mempengaruhi eksistensi ketuhanannya. Karena sejatinya Tuhan tak memerlukan pembelaan itu, demikian kutipan penulis dari Al Hujwiri dalam buku Gus Dur “ Tuhan Tidak Perlu Dibela”.
Era saat ini telah memasuki era industri 4.0 di mana tidak terlepas dari teknologi yang semakin canggih. Santri-santri zaman sekarang mana yang tidak pernah bergelut dengan namanya twitter, instagram, youtube, facebook dan beberapa sosial media lainnya. Platform media tersebut bisa kita jadikan sebagai ajang berdakwah, mengikis paham-paham radikalis-fundamentalis yang sedang marak tersebar. Jika kita hanya diam saja siapa yang akan melakukannya?
Dengan melesatnya perkembangan teknologi, menyebarnya platform dakwah dan beberapa situs pengajian online di berbagai media harus diimbangi dengan keilmuwan yang cukup. Setidaknya memiliki bekal untuk akhirnya bisa memilah dan memilih mana ajaran yang termasuk kategori intoleran, keras, damai, sejuk, dan moderat. Penulis bukanlah pengamat media yang ulung, dan bukan pembaca yang baik. Oleh karena itu, pembaca saya harap untuk memberikan kritik saran dan membangun atas penyajian penulis atas tulisan-tulisan ini.
Hal ini dimulai dengan kesangsian penulis setiap kali melihat platform media yang masih menyajikan beberapa kandungan slogan yang terlampau tekstualis normatif. Beberapa bulan lalu penulis menonton sebuah film yang berjudul “Jejak Khilafah di Nusantara” atau biasa disingkat menjadi JKDN. Penulis memperoleh informasi film tersebut di platform instagram, mula-mula penulis tidak tertarik. Namun bila dipikir-pikir bisa digunakan sebagai analisis dan menambah wawasan lebih luas lagi. Dengan penasaran penulis berusaha mencari akses untuk menonton keseluruhan film dokumenter tersebut.
Penulis memang tertarik dengan ilmu sejarah, sejarah apa pun, sejarah dunia, sejarah Islam, sejarah Indonesia bahkan sejarah agama-agama. Ketika mempelajari sejarah, memang banyak perspektif dan sudut pandang. Mengomentari film JKDN yang rilis bulan Agusutus lalu, penulis hanya bisa tercengang dan mengernyitkan dahi. Terkadang mengangguk dan membenarkan alur film yang disusun dengan sinematik. Akan tetapi di sisi lain penulis menemukan kejanggalan dan sesuatu yang berbau propaganda “radikalis-fundamentalis”. Setelah menonton film yang berdurasi cukup panjang tersebut, penulis mendiskusikannya bersama teman-teman sebangku kuliah. Mereka saya mintai pendapat terkait konten dan alur film JKDN, ia membenarkan jika memang ada narasi-narasi sentimental.
Selang beberapa jam kemudian, penulis mengakses internet untuk mengulik pendapat para tokoh terkait film tersebur. Penulis sempat menemukan tulisan Prof. Oman Fathurrahman, salah satu Guru Besar seorang Filologi di UIN Syarif Hidayatullah menyatakan bahwa dalam konteks sejarah sesungguhnya kewajiban sejarawan adalah menampilkan data apa adanya. Jika kemudian ada penafsiran, tentu itu sah berdasarkan metodologi yang sesuai secara akademis. Yang menjadi masalahnya adalah menjadikan penafsiran tersebut untuk disesuaikan keinginan sehingga keluar dari data aslinya yang hanya untuk menggiring opini. Dan yang penulis temukan dalam film tersebut seakan data yang ada tersebut ditafsirkan untuk akhirnya digunakan untuk menggiring opini publik.
Peristiwa kedua, penulis juga menemukan sebuah bacaan menarik yang membahas tentang Muslim United (MU). Kelompok MU tersebut sempat memunculkan perdebatan di berbagai kalangan. Dengan akun instagram “muslimunited.official” Beberapa agenda yang diadakan sangat inovatif dan progresif maka tak pelak jika banyak pengikutnya dari para kaum-kaum muda. Penulis sempat kaget dengan agenda nobar yang mereka adakan, yakni nobar film “alif lam mim” yang pernah dilarang tayang oleh kominfo.
Penulis belum bisa memberikan komentar dan konklusi secara komprehensif, namun pesan penulis kepada para pembaca khususnya untuk memilih dan memilah media yang digunakan untuk bersosial media. Sebagaimana saya sampaikan di awal, bahwa kita harus menyempitkan dan meminimalisir gerakan radikalisme sedini mungkin, bisa dilakukan dengan menyebarkan narasi moderasi beragama melalui berbagai platform.
Sedangkan dalam menyikapi kalangan yang nampak fundamentalis, tekstualis normatif hendaknya kita pertimbangkan, karena kita masih perlu banyak pembacaan dan perdiskusian untuk tidak menjudge orang lain itu aliran ekstrim. Toh selama mereka tidak menimbulkan perpecahan maka penulis rasa tidak masalah. Kecuali jika ranah gerak yang dilakukan berbau intoleran dan merongrong kesatuan maka kita harus lebih cerdik menghadapinya. Maka, jadilah santri yang cermat, cerdik, teliti dan jangan gegabah.
Komentar Terbaru